Oleh: Rumaisha Rachmawan – Siswi MAN Insan Cendekia Jambi
Dahulu kala, orang Mesir memuja kucing sebagai dewa penjaga ataupun pelindung kerajaan. Namun, di sebuah desa kecil di Jambi bernama Lubuk Bumbun, seekor kucing justru menjadi penjaga hal yang berbeda, yakni bahasa, budaya, dan cerita yang hampir hilang.
Bagaimana jika seekor kucing yang dipungut dari tong sampah pasar ternyata mampu berkomunikasi dua arah dengan manusia, termasuk tuannya? Apa jadinya jika kucing ini mampu menyerap berbagai informasi, mulai dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, hingga seputar adat istiadat setempat yang unik? Terdengar aneh? Namun begitulah kisah unik yang ditawarkan buku Lubuk Bumbun karya Rini Febriani Hauri.
Rini Febriani Hauri, penulis asal Jambi, lahir pada 28 Juli 1988. Hingga pertengahan tahun 2025, Rini telah sukses menerbitkan 16 buku lintas genre, tidak hanya cerita anak tetapi juga riset ilmiah dan puisi tunggal. Lubuk Bumbun merupakan buku ketiga dalam awal perjalanan kariernya, ditulis saat ia mengikuti sayembara menulis cerita yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Jambi.
Lubuk Bumbun adalah sebuah desa di Jambi yang kaya akan kearifan lokal. Namun, seiring perkembangan zaman, adat istiadat di desa ini perlahan mulai tergerus, lingkungan juga rusak. Akibat Penambangan Emas Tanpa Izin atau PETI, warga harus mengambil air bersih ke desa sebelah dengan akses transportasi yang buruk, dan terjadinya abrasi atau pengikisan daratan. Penulis berharap, tema ini bisa menggugah pembaca untuk kembali peduli dan melestarikan budaya. Kondisi ini menjadi latar cerita dalam buku Lubuk Bumbun.
Kisah bermula ketika seekor kucing liar dipungut dari tong sampah di Pasar Rantaupanjang oleh seseorang yang dipanggil “sang Tangan Besar”. Sejak saat itu, kucing tersebut hidup di Desa Lubuk Bumbun dan menyaksikan berbagai kisah khas adat setempat, mulai dari upacara adat hingga mitos dan larangan tertentu. Cerita disusun dengan menyisipkan unsur edukatif seputar kebahasaan dan kearifan lokal secara halus dalam narasi.
Buku Lubuk Bumbun disampaikan dari sudut pandang seekor kucing, pilihan sudut pandang yang menarik karena berbeda dari buku cerita anak lainnya. Kucing yang biasanya dipanggil Nyik, Manis, atau Bayi merupakan kucing yang cerdas. Dalam narasinya, ia kerap menyelipkan makna kata baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menandakan peran sang Tangan Besar (tuannya) dalam mendidiknya. Sang Nona sebagai pasangan sang Tangan Besar juga berperan penting, dengan petuahnya yang menyentuh. Seperti yang tertulis pada halaman 10, “Jangan takut pada kesendirian. Karena pada akhirnya, seseorang juga akan meninggal dalam keadaan sendiri.” Lewat sang Nona, pembaca diajak menerima satu hal: pada akhirnya, kita semua akan berjalan sendiri. Adanya penyisipan dialog antartokoh memperkuat kedalaman pesan moral. Dari segi struktur, buku ini disusun secara linier dengan narasi alur maju yang mudah diikuti. Cerita dibagi dalam beberapa bagian; setiap bagian memperkenalkan adat, mitos, atau nilai budaya lokal yang berbeda.
Penggunaan sudut pandang hewan sebagai orang pertama ternyata juga pernah digunakan dalam novel Hollow Kingdom karya Kira Jane Buxton, penulis asal Amerika. Novel Hollow Kingdom disampaikan dari sudut pandang seekor burung gagak peliharaan bernama ST yang menjadi saksi dari wabah zombie yang menyerang umat manusia. Wabah tersebut sebenarnya disebabkan oleh polusi dan gaya hidup buruk. Walaupun berbeda dari segi latar belakang dan genre—Hollow Kingdom lebih bertema horor-fantasi fiksi ilmiah—novel ini dan Lubuk Bumbun sama-sama menekankan bagaimana manusia mengeksploitasi alam dan hewan untuk kepentingan mereka sendiri tanpa memikirkan konsekuensinya. Jika dalam Lubuk Bumbun, si Kucing menyaksikan desanya yang rusak karena penambangan liar, maka dalam Hollow Kingdom, burung gagak alias ST melihat bagaimana manusia perlahan lenyap akibat ulah mereka sendiri. Keduanya menghadirkan refleksi tentang rusaknya hubungan manusia dengan alam, hanya saja dengan cara yang sesuai dengan konteks budaya dan usia pembaca masing-masing.
Banyak hal menarik yang membuat buku ini menonjol di antara buku cerita anak lainnya. Melalui Lubuk Bumbun, pembaca disuguhkan pengetahuan baru seputar kehidupan sosial dan kearifan lokal di Desa Lubuk Bumbun. Setiap beberapa halaman, diselipkan gambar ilustrasi yang rapi dan menarik, dengan gaya kartun yang sederhana, membuat pengalaman membaca menjadi lebih hidup bagi anak-anak. Beberapa halaman juga berwarna, tidak monoton hitam-putih. Gaya penulisannya luwes, dan penuh sisipan nilai moral. Pembaca juga bisa memperluas ilmu pengetahuan baik seputar tata bahasa maupun kosakata baku yang mungkin sudah jarang didengar. Pada bagian akhir buku terdapat glosarium yang membantu pembaca memperkaya perbendaharaan kata. Terlebih karena dalam buku ini mengandung banyak istilah yang kini sudah jarang terdengar dalam keseharian.
Sayangnya, masih terdapat kekurangan dalam buku Lubuk Bumbun. Bagi beberapa pembaca pemula, terutama anak SD sebagai target utama dari buku ini, mungkin akan merasa ada tantangan tersendiri dalam memahami alur dan tokoh karena narasi disampaikan dari sudut pandang hewan. Sampul buku dengan gambar perempuan menggendong kucing terkesan tidak cukup memikat ketertarikan dan rasa ingin tahu anak-anak. Ekspresi wanita dalam sampul terlihat datar, bahkan sedikit menyeramkan. Buku ini gagal menyuguhkan konflik yang memikat sejak awal. Bagi anak-anak, narasi yang terlalu datar bisa menghilangkan minat baca mereka. Dan sedikit catatan minor, secara penulisan dan ejaan, dalam halaman 33 masih ditemukan adanya ketidakonsistenan penggunaan huruf kapital pada kata sapaan pada kata “Nona”.
Buku Lubuk Bumbun adalah buku cerita anak yang menyajikan keunikan dari segi naratif dan pesan moral sosialnya. Buku ini tidak hanya memperkenalkan pembaca pada kosakata baru atau adat istiadat, tetapi juga membangun kepekaan terhadap isu lingkungan serta pentingnya pelestarian budaya. Pengetahuan dalam buku ini dikemas dalam bentuk yang menarik dan mengalir saja dalam cerita, sehingga tidak membosankan untuk dibaca. Lubuk Bumbun tidak hanya hadir sebagai buku cerita, tetapi juga pengingat bahwa pelestarian tidak selalu harus dengan hal besar. Sebagai pembaca remaja yang tumbuh di tengah perubahan budaya lokal Jambi, saya merasa kisah ini mengingatkan bahwa pelestarian bisa dimulai dari hal-hal kecil. Bisa dari fabel seekor kucing. Dari satu kata yang hampir mati. Dari satu anak yang membacanya. Bacalah Lubuk Bumbun, dan biarkan kata-kata yang hampir mati itu hidup kembali dalam kesadaran kita. (*)
*Resensi ini merupakan juara 1 menulis resensi yang diadakan oleh Perpustakaan Provinsi Jambi







